Persoalan darurat sampah tengah dihadapi warga Bandung Raya. Dipicu kebakaran yang melanda Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, ribuan ton sampah di Kota Bandung dan sekitarnya sempat tidak terangkut. Hal itu mengakibatkan penumpukan sampah terjadi di hampir seluruh tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan sejumlah titik lainnya di Kota Bandung.

Siasat mengatasi persoalan sampah di Kota Kembang coba dilakukan oleh sejumlah warga. Seperti yang dilakukan warga RT 08, RW 05, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Lewat program Dabaresih (Dago Barat Resik Hejo), warga diajak memilah dan menabung sampah anorganik di bank sampah agar bisa diolah kembali hingga diperjualbelikan.

"Kita mulai dari tahun 2020 dan sampai sekarang masih berjalan. Setiap Sabtu dan Minggu kita ada pemilahan sampah anorganik di bank sampah yang nanti hasilnya kita jual lagi ke pengepul yang lebih besar. Untuk sampah organik, kita olah menjadi pupuk dan mol untuk kebutuhan buruan sae serta dijual," kata perwakilan Bank Sampah Dabaresih, Nurhayati, kepada Republika.id, beberapa waktu lalu.

Program Dabaresih memang masih terbilang baru dilakukan sebagai tempat pengolahan sampah warga secara swadaya. Warga mulai diedukasi pentingnya memilah sampah organik agar tidak dicampur dengan sampah anorganik.

Ketika ada bencana kebakaran di TPA Sarimukti, kita tidak kelimpungan karena sampahnya tetap bisa diangkut petugas dan kemudian diolah.

Nantinya sampah organik diolah dengan bata terawang, drum komposter, lodong sesa dapur (loseda), dan wadah sisa makanan (wadisma). Hasil olahannya menjadi pupuk padat, eko-enzim, dan mikro organisme lokal (mol).

Tak mau kalah, upaya mengurangi sampah masuk ke TPS pun dilakukan warga RW 09, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung. Kawasan ini menerapkan metode budi daya maggot atau larva dari lalat black soldier fly (BSF) untuk mengolah sampah organik yang dihasilkan warga.

Setiap harinya, 100 kilogram sampah organik dari warga dijadikan pakan untuk para larva tersebut. Nantinya, larva tersebut dimanfaatkan untuk pakan lele serta dijual ke peternak-peternak di sekitar.

"Bahkan seringnya kita kekurangan sampah sisa dapur dari warga, jadi pemberian pakan untuk maggot kurang maksimal," kata Saryono yang merupakan petugas pengolah sampah di RW 09.

Beda penanganan, tapi tetap satu tujuan, yaitu mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPS. Tak jauh dari RW 09, warga dari RW 14 juga sudah melakukan pengolahan sampah secara mandiri.

Bertempat di Kompleks Taman Rafflesia, sampah dari ratusan rumah sudah tidak dibuang ke TPS, baik sampah organik maupun residu, seperti plastik, berhasil diolah secara mandiri.

Sampah organik yang diambil tiga kali sehari dicampur dengan sampah daun kering untuk kemudian digiling menggunakan mesin komposter. Hasilnya, sampah tersebut menjadi serpihan kecil dan dijadikan pupuk kompos.

Sementara itu, untuk sampah residu, pengolahannya menggunakan metode peuyeumisasi atau menumpukkan sampah dan disiram dengan cairan mol untuk menyurutkan ukuran, kemudian diperjualbelikan untuk dijadikan briket.

"Dengan kesadaran warga untuk mengolah sampah seperti ini, ketika ada bencana kebakaran di TPA Sarimukti, ratusan warga di RW 14 tidak kelimpungan karena sampahnya tetap bisa diangkut petugas dan kemudian diolah, sehingga tidak menumpuk di tong sampah depan rumah," kata Ketua RW 14 Ana Meilana.

Foto dan Teks

Abdan Syakura/Republika

 

Editor

Edwin Putranto

 

Desain

Baskoro Adhy

top

Siasat Mengakhiri Persoalan Sampah di Kota Kembang